Akhir kisah Cinta seorang muslimah...



Aku masih saja duduk termenung di depan pintu rumahku itu. seakan rasa tak percaya bahwa sekarang kamu tak bersama ku lagi. Kamu rela meninggalkanku dan melupakanku hanya untuk mengejar cinta yang lain. Tak sadarkah kamu telah berapa banyak waktu yang kita lewati bersama. Kita pacaran sudah 3 tahun. Tak berarti kah itu bagimu. Hanya sekejap mata kamu melirik ke tempat yang lain. Bulsit cintamu itu. Betapa muaknya aku melihat sikapmu itu. Tak sadar olehku saat itu aku di kejutkan oleh suara yang tak asing bagi telingaku.

“Gak kuliah kamu ra?” tanya ibuku.

“Kuliah bu, bentar lagi.” Sahutku sambil berlalu ke kamarku.   

Hari ini, hari pertama ku menginjakkan kaki ku di Universitas. Telah aku tanamkan di benakku untuk tidak mengingat lelaki itu dan dalam hatiku berharap agar aku tidak satu Universitas dengannya. Namun tuhan berkehendak lain. Aku satu Universitas dengan Putra dan Aisyah. Aku berusaha untuk lari dari hadapan mereka. Namun, tak dapat aku hindarkan mereka sudah berada di depan mataku. Terpaksa aku sok-sok baik dengan mereka.  
 

“Hey…” tuturku malas.  
 
“Hey juga Ra. Gak nyangka ya kita satu Universitas juga.” Kata Aisyah berbasa-basi, padahal dia tahu aku dari dulu mau masuk universitas ini.

“eummm…” itu kata-kata terakhir yang aku ucapkan. Lalu aku berlalu dari mereka.
ternyata buaya itu juga satu jurusan dengan aku. Betapa sialnya hidupku hari ini.

Putra adalah mantan pacarku dan Aisyah adalah sahabatku. Kami putus komunikasi dan tidak pernah bertemu selama hampir 2 bulan setelah tamat SMA. Aku menutup mataku untuk tidak mengenal mereka berdua lagi. Betapa teganya dia merebut pacarku. Bagiku dia sahabat sejatiku. Namun ternyata dia hanya sahabat makan sahabat dan mantan pacar yang tergiur akan kecantikan.

“Humaira masih marah ya sama aku?”Tanya Putra.

“Marah? Marah kenapa?” Singkat jawabku.  
 
“Ok. Aku minta maaf. Habisnya kamu sih gak pernah ngerti aku. Dan gak mau nurutin keinginan aku. Ya jadinya aku cari yang lain aja.” Tuturnya lagi.

“Oh ya.Emang aku nanya?” jawabku sambil berlalu pergi. Sungguh tak kuat rasa hatiku mendengar ucapan lelaki bangsat itu.

Aku tahu waktu pacaran tak pernah aku berikan apa-apa dengannya. Ciuman saja tak pernah aku berikan kepadanya. Itu semua aku lakukan karna aku menjunjung agamaku. Dalam agama islam ciuman itu merupakan perbuatan yang mendekati Zina. Dan lagi pula alasan aku tak mau pacaran yang berlebih. Karna aku tak ingin memberikan sisa orang kepada suamiku nanti. Namun Putra tak mau mengerti. Dia menganggap aku udik dan tak tahu bagaimana pacaran itu sebenarnya. Tapi bagi ku biarlah. Mungkin Putra bukan lelaki yang baik untukku. Sekarang biarlah dia pacaran dengan Aisyah. Semoga apa yang dia inginkan selama ini dapat dia dapat di Aisyah. Semoga saja nanti ada lelaki yang bisa menerima aku apa adanya dan bisa menerima semua keinginanku ini. 

Karna terlalu lama berpikir aku tersentak oleh suara yang sangat asing bagiku. “Jangan melamun. Gak baik tahu.” Tuturnya. 
 
“Oh, gak melamun kok. Oh ya kamu siapa?” 
    
“Ichsan. Kalau kamu?”   
 
“Humaira.”

“Ngomong-ngomong kenapa melamun sih? Ada masalah?” Tanya Ichsan padaku.

“Gak ada masalah kok.” Tuturku datar.

“Ya udah kalau gitu. Kuliah jurusan apa?” 
 
“Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kamu sendiri?”

“Sama jurusan bahasa juga?” jawabnya

“Benarkah??”

Tapi aku jurusan Bahasa Arab ucapnya sambil tersenyum.
“ngomong-ngomong kamu ada ikut organisasi apa disini?” Tanyanya lagi.

Aku baru ingat bahwa dia salah satu panitia Ospek Kampus beberapa hari yang lalu. Tadi aku kira dia anak baru juga, oh noooo.....    
 
“Aku belum masuk organisasi apapun, Rencana mau masuk ke organisasi kamu, kamu , kamu calon-calon pendakwah gitu kan?” kira-kira begitulah Pertanyaan modusku 

“Ia, nsyaallah.” Jawabnya.

“Ya udah aku masuk duluan ya.” Tuturku sambil beramitan.  
  
Yupz, Assalamualaikum.   
 
Waalaikum salam. Tuturku.

     Masya allah. Santun sekali lelaki itu. Tuturnya lemah lembut dan subhanallah gantengnya. Coba Putra kayak dia. Aduh kenapa mikiran lelaki itu lagi sih. Buang jauh-jauh pikiranmu dari lelaki itu Ra… Tuturku dalam hati.

Semenjak pertemuan itu hatiku semakin tergugah untuk bisa berteman dengan lelaki itu. Tapi dalam pikiranku apakah mau dia berteman denganku. Tapi sudahlah aku coba dulu untuk mendekatinya. Aku memang berjilbab tapi jilbabku masih tipis dan transparan, meskipun ada keinginan berjilbab besar tapi aku merasa belum cukup ilmu dan lain-lain. Aku yakin inilah saatnya aku untuk berubah dan mana tahu dia bisa membantuku untuk menjadi wanita muslimah yang sejati.

     Pagi ini aku berniat untuk menyapa Ichsan, aku sudah melihatnya berkumpul dengan teman-teman se-jurusannya. Gugup rasa hatiku untuk mendekatinya. Baru saja mau melangkah pergi. Dia malah memanggilku.

“Ukhti.. tunggu… ukhti mencari saya?” Tanyanya.  
 
“Sebenarnya iya. tapi sudahlah. Nanti saja.” Tuturku. 
   
“Tidak apa-apa ukhti. Ada yang bisa saya bantu?” Tanyanya lagi 
   
“Aku mau bergabung dengan organisasi akhi, mau gak akhi menuntun saya untuk menjadi wanita yang sesungguhnya wanita?” tanyaku sambil deg-degan tanpa menatap ke wajahnya. Itu adalah kali pertama saya memanggilnya akhi, sapaan untuk Ikhwan.

“Alhamdulillh.Saya mau ukhti. Dengan senang hati saya akan membantu ukhti.”

“Terima kasih ya. Aku masuk dulu.” 
 
“Baiklah. Assalamualaikum.” 
  
“Waalaikumussalam.” Jawabku lagi.

Betapa senangnya aku bisa berteman dengan calon ustad. Tak tersadar olehku selama perjalanan ke kelas aku hanya tersenyum-senyum sendiri.

“kamu kenapa Ra?” Tanya teman namanya tia.    
 
“Gak kenapa-kenapa kok. Lagi senang aja.” Tuturku datar. 

“Ya udah masuk yuk!!!” ajak Tia 

“Ayokk.” Jawabku sambil menggandeng tangan Tia menaiki tangga karena kelas kami ada dilantai 2.   
 
     Belum lagi masuk kedalam kelas aku sudah di kejutkan oleh peragaan mesra yang di tampilkan oleh Putra dan Aisyah. Mereka sengaja memanas-manasin aku. Tapi aku berusaha untuk sabar dan sabar. Aku tak menghiraukan kelakuan mereka. Langsung saja aku masuk ke dalam kelas.

Ketika waktu jam pelajaran berakhir. Aku langsung menyibukkan diriku dengan membaca buku–buku tentang ajaran islam yang tentang bagaimana wanita Islam berperilaku. Tak tersadar oleh ku dari tadi ada seseorang yang memperhatikanku. Ku coba untuk menoleh ternyata lelaki itu adalah Ichsan.

“Subhanallah. Awal yang baik.” Tuturnya.  
 
“Iyakah?” Jawabku sambil tertawa kecil.  
  
“Kok ketawa sih. Ini semua bagus tahu. Saya senang dengan perubahan kecil ini. Saran saya sebaiknya ukhti menggunakan jilbab yang lebih besar dan tidak transparan.”

“Aku belum bisa.”

“kenapa?”

“Aku belum siap. Aku takut nanti membukanya lagi. Aku mau memakai jilbab jika hatiku sudah benar-benar kuat dan takkan tergoyangkan lagi.”   
 
“Baiklah. Oh ya ukhti. Bolehkah sekiranya saya bertanya tentang sesuatu yang bersifat pribadi?”  
 
“Boleh. Tentang apa?” 
 
“Seringkah ukhti sholat?”

“Masih bolong-bolong.”   
 
“Masya allah. Sholatlah ukhti. Karna sholat itu dapat menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar. Dan satu hal lagi. Tahukah ukhti kenapa islam menganjurkan wanita untuk memakai jilbab?”

“Tahu.” Jawabku singkat  
 
“Terus kalau tahu kenapa masih pakai jilbab yang kecil dan transparan?” 
   
“Kan sudah di bilang tadi aku masih mau menguatkan hatiku dulu. Jika sudah pasti maka aku akan memakainya.”     
 
“Baiklah. Saya akan tunggu masa itu. Yang kedua, apakah ukhti pernah pacaran?”

“Pernah. Bahkan sudah 3 tahun. Dan sekarang sudah kandas.”  
 
“Ukhti ngapain aja selama pacaran?”  
 
“Aku gak pernah ngapain-ngapain, bahkan pacarku memutuskanku gara-gara aku tak mau di cium sama dia.” 
 
“Baguslah jika ukhti belum pernah di apa-apakan oleh lelaki lain.”    
“Emangnya kenapa?” 
  
“Karna jika ukhti pernah di apa-apakan. Kasian sama suami ukhti nanti. Dapat bekas orang.”   
 
“Itulah yang tidak aku inginkan. Makanya aku tak mau pacaran yang melakukan hal-hal yang tidak baik.”

“Baiklah ukhti. Sekarang waktunya saya pergi. Saya harap ukhti tidak merasa tersinggung dengan ucapan saya. Beginilah saya. Assalamualaikum.”

“Tidak apa-apa kok. Waalaikumussalam.”

Lelaki yang baik dan sempurna. Bahagianya jika aku bisa menjadikan dia suamiku. Pasti rumah tanggaku akan selalu di pancarkan oleh sinar kesucian. Aku tergugah dengan kata-katanya. Aku akan berusaha untuk merubah semuanya. Semoga saja bisa berjalan lancar. 
    
 Hari ini aku datang ke kampus dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambut yang selama ini aku ikat dan terlihat remang-remang dibalut jilbab tipisku, Kini tersimpan di dalam jilbab yang tebal dan besar ini. Baju yang dulu selalu sempit di badanku, kini berubah menjadi pakaian yang menutupi tubuhku. Hingga orangpun tak bisa melihat lekuk-lekuk tubuhku. 
 
     Sudah lama rasanya aku tidak bertemu dengan Ichsan. Semenjak hari itu. Aku tak pernah melihat bayang-banyaknya di tempat aku kuliah.Aku langsung saja masuk ke kelas untuk bertemu dengan Tia.

“Tia kamu ada liat gak Ichsan yang sering aku ceritain sama kamu?” tanyaku pada Tia.   
 
“Kemarin sih pernah liat. Tapi sekarang aku gak pernah liat lagi. kenapa sih?” tanyan Tia penasaran. 
   
“Gak kenapa-kenapa. Cuma mau konseling aja sama dia.”  
   
“Oh ya Ra aku ada denger berita tentang Ichsan.”

“Berita apa?” tanyaku, sekarang aku yang penasaran.   
 
“Aku dengar-dengar dia mau ta’arufan sama seorang wanita?”   
 
“Ta’arufan. Sama siapa?”

“mana aku tahu Ra.” Jawab Tia singkat karena emang gak ada yang tahu tentang siapa yang bener-bener dekat dengan dia.  
 
     Perih rasanya batinku mendengar berita itu. Hancur sudah harapanku. Ingin memiliki lelaki yang baik, namun sudah mencintai orang lain. 
   
“Nasib-nasib!!” gumanku tanpa sadar.

“Kok nasib sih Ra? kenapa Ra?”   
 
Gak da apa-apa.”

“Kayaknya kamu sedih deh tahu tentang berita ini. Jangan–jangan kamu suka ya ma ustad itu? ayo ngaku?” Tia mulai menggangguku.  
 
“Kamu apaan sih. Mana ada aku suka sama dia. Lagian aku ini bukan tipe dia Tia. Dia itu suka sama perempuan yang bener-bener muslimah. Bukan kayak aku. Wanita yang baru tobat begini.” Jelasku panjang lebar. 
  
“Tapikan kamu punya perasaan lain sama dia. Itu tandanya kamu lagi jatuh cinta sama ustad.” Kata Tia.  
 
“Mungkin kali ya. Ya udah deh, sekarang dia lagi ta’arufan. Jadi aku buang aja deh harapan ini.” Ucapku padahal aku masih sangat berharap dia jadi jodohku. 
  
“Huhu… udah jangan sedih begitu Ra. Mungkin belum jodoh dan mungkin ada lelaki yang lebih baik lagi buat kamu dari pada Ichsan. Kamu yang sabar aja ya.” Tutur Tia untuk menghiburku.

“Ya deh..” jawabku masih dengan perasaann berkabung.

Di kamarku. Aku merintih. Aku ingin rasanya di cintai oleh Ichsan.Dan besar harapanku agar ta’arufan Ichsan tidak berjalan mulus.Tapi perasaan itu aku coba untuk menghilangkannya dari pikiranku.Setelah lama aku melamun.Aku tersentak dengan suara ketukan pintu dari luar.Dan terdengar suara ibu dari luar.

“Sayang... Ada tamu. Keluar sebentar dan jangan lupa memakai jilbabmu.”  
 
“Baik ibu.”  Jawabku seraya langsung memakai jilbab dan bergegas keluar kamar.

     Aku keluar dari kamar dan aku lagi-lagi di kagetkan oleh sesuatu. Tamu yang datang adalah Ichsan dan keluarganya. Betapa bahagianya rasa hatiku.

“Assalamualaikum..” tuturku.   
 
“Waalaikum salam.” Tutur mereka semuanya.

“Sayang maksud mereka ke sini untuk ta’arufan denganmu. Ibu udah mendengar semuanya. Sekarang tinggal kamu. Mau atau tidak?” ibuku menjelaskan seraya menanyaiku.

“Menurut ibu dan ayah bagaimana? Humaira serahkan semuanya sama ibu dan ayah.”

“Kalau begitu kita terima ya.”  
 
“Ya bu..”  
 
“Alhamdulillh. Kata Ichsan dan keluarganya.”  

Dan akhirnya aku menemukan jodohku, dari itu aku membuat kesimpulan tentang cinta. Tak perlu menjalin hubungan selama bertahun-tahun, namun akhirnya tak bisa bersatu. Namun hanya cukup beberapa saat untuk saling mengenal dan berakhir dengan sebuah pernikahan yang abadi.

You Might Also Like

0 comments

Flickr Images