Sependam Rasa untuk Sahabatku

Sederhana tapi bermakna, Sekelumit rasa yang muncul menjadikan sosokku berbeda. Bayangnya, senyumnya, canda tawanya, segala tutur katanya masih terngiang-ngiang di fikiranku. Tapi apalah daya, kini dia dan aku seakan terpisah oleh benteng yang tak berkesudahan. Ku coba mencari celah ke hatinya tapi tak ku dapatkan. Terkadang dia seakan-akan memberiku celah ke hatinya  tapi sayang itu hanyalah sekilas harapan. Harapan yang tak kubiarkan menjalar karena ku tak ingin ia menjauhiku karena rasa yang ku punya ini.
“Heyy Rizky.. Asyik ngelamun aja,” Amelia mengejutkanku.
“Gak bisa ya kalau datang kerumah orang salam dulu.
“Udah ku kasih salam, kamu aja gak dengar.
“Ia, ia... kalau kesini pasti ada maunya. Ada perlu apa ni?”
“Kasih tau gak yaa?” Jawabnya sambil tertawa cengengesan.
“Sok-sok-an ketawa, sama seperti cuaca pasti hatimu lagi mendung juga tuh kan?,” Jawabku sambil ikut tertawa juga.
Amelia adalah sahabatku. Kami pertama bertemu semester kedua di kelas satu karena ia seorang siswa pindahan, waktu itu kami masih berseragam putih abu-abu. Hari itu ada les sore, kami
saling sapa sepulang sekolah karena aku yang paling telat pulang. Dia sih yang nyapa duluan bukan aku, maklum kan dia yang anak baru.
“Woiii...” Amelia membuyarkan lamunanku lagi. Aku tersenyum sok manis kepadanya. Ada yang berbeda dengannya hari ini.
“Semua cowok sama saja ya,” Lanjutnya lagi.
What? Kenapa lagi dengan kamu Amel?”
Gak ada apa-apa.
“Jangan mulai deh amel, aku bukan paranormal yang bisa ngebaca atau ngeramalin pikiran dan suasana hati kamu loh. Ingat itu.” Jawabku serius.
“Siapa yang bilang kamu peramal. Siapa juga yang mau kamu buat baca pikiran aku. Pacar bukan, saudara  bukan,” Amel menggerutu.
Hufff,, susah kali lah emang ngertiin mahkluk jenis ini alias wanita. Diluruskan patah, di lembutin malah jadi tambah bengkok. Jelas-jelas aku sahabatnya, tanpa menggerutu seperti itu aku juga nyadar kalau aku  bukan pacar atau saudaranya. Tapi ya sudahlah. Mungkin dia lagi patah hati karena beberapa waktu yang lalu ketika ia patah hati, ia pun pernah bersikap seperti itu.
Dulu... duluuuu bangeet... ketika dia masih di SMA, dia sering bilang kalau ia ngerasa aneh ngeliat kawan yang nangis karena di putusin pacarnya atau menangis sebab musabab yang tak jauh dari cinta.. emang sakit banget ya? Tanyanya ketika kami masih sama-sama memakai seragam putih abu-abu. Meskipun ia cukup pandai membawa diri dalam bergaul dan langsung mempunyai banyak teman, tapi kalau ada yang mau curhat masalah cinta-cintaan, bukan ke dia tujuannya, maklum ia pindahan dari pesantren.
Meskipun ia agak jail, bukan agak sih tapi emang jail orangnya, tapi kadang-kadang ia suka nasehatin teman-temannya dengan gaya sok-sok ustadzah. Teman-teman mengatakan ia gak bakalan ngerti dech tentang apa yang mereka rasakan tentang pacaran karena amelia gak pernah pacaran. Dan akhirnya pertengahan tahun di kelas dua SMA ia pun berpacaran dengan siswa kelas lain yang bernama putra. Ia cukup terkenal karena ia casanova sekolah waktu itu.
Gak sampai satu tahun, hubungan yang dibangun Amel dan Putra pun akhirnya kandas. Terakhir ku ketahui bahwa Putra berpacaran dengan Erlina. Erlina adalah teman sekelas kami sekaligus salah satu teman terbaik amelia juga. Amelia begitu terpukul saat mengetahui hal itu, lalu mereka putus komunikasi dan tidak pernah bertemu selama hampir 2 bulan setelah tamat SMA. ia menutup mata hatinya untuk tidak mengenal mereka berdua lagi.
“Betapa teganya dia pacaran dengan pacarku. Bagiku dia sudah ku anggap sahabat. Namun ternyata dia hanya sahabat makan sahabat dan mantan pacar yang tergiur akan kecantikan,” Curhat Amelia kepadaku waktu itu tetap dengan gayanya yang sok tegar itu.”
Hari itu, hari pertama Amelia menginjakkan kaki di Universitas. Telah ia tanamkan di benaknya untuk tidak mengingat lelaki itu dan dalam hatinya berharap agar ia tidak satu Universitas dengannya. Namun tuhan berkehendak lain. ia satu Universitas dengan Putra dan Erlina. ia berusaha untuk lari dari hadapan mereka. Namun, tak dapat dihindari. Mereka sudah berada di depan matanya.
“Hey…” tuturnya malas.
“Hey juga, Mel. Gak nyangka ya kita satu Universitas.” Kata Erlina berbasa-basi, padahal dia tahu Amel dari dulu ingin masuk universitas ini.        
“Eummm…” itu kata-kata terakhir yang Amelia ucapkan. Lalu ia berlalu dari mereka. Tapi  Putra mengejarnya.  
“Amel, masih marah ya sama gue?
,” tanya Putra.     
“Marah? Marah kenapa?” singkat jawabnya. 
“Ok. gue minta maaf. Habisnya loe sih gak pernah ngerti gue. Dan gak mau nurutin keinginan gue. Ya jadinya gue cari yang lain aja”, tutur putra.   
“Oh ya. Memang aku nanya?” jawab Amel sambil berlalu pergi.
Sungguh tak kuat rasa hatiku mendengar ucapan lelaki bangsat itu. Lalu aku menemui Amel yang sedang berlalu dari hadapan Putra.
“Jangan melamun. Gak baik tahu,” tuturku kepada Amelia. 
“Oh, gak melamun kok.”       
Ngomong-ngomong kenapa melamun sih? Ada masalah?”
“Gak ada masalah kok,” jawabnya datar.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, aku memberanikan diri menanyakan bagaimana hubungan Amelia dan Putra semasa pacaran dan kenapa ia hanya memilih diam ketika Putra dan Erlina jadian.
“Aku tahu waktu pacaran tak pernah aku berikan apa-apa dengannya. Pegangan tangan saja tak pernah aku dengannya. Itu semua aku lakukan karna aku menjunjung prinsipku. Dalam agama islam pegangan dengan non muhrim itu merupakan perbuatan yang mendekati Zina. Dan lagi pula aku tak mau pacaran yang berlebih,” kata Amel.
“Kenapa? Karena awalnya kalian pacaran karena taruhan?,” tanyaku lagi
“Karena aku tak ingin memberikan sisa orang kepada suamiku nanti. Namun Putra tak mau mengerti. Dia menganggap aku udik dan tak tahu bagaimana pacaran itu sebenarnya. Tapi bagi ku biarlah. Mungkin Putra bukan lelaki yang baik untukku. Sekarang biarlah dia pacaran dengan Erlina. Semoga apa yang dia inginkan selama ini di dapat di Erlina. Semoga saja nanti ada lelaki yang bisa menerima aku apa adanya dan bisa menerima semua keinginanku ini,” Jelas Amel panjang lebar dan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
“Ah...aku sudah lelah disakiti,” kata-kata Amel membuyarkan lamunan panjangku lagi.
“Berapa kali ku katakan kepadamu, cinta itu bukan main-main Amelia. Jangan menjadikan hubunganmu sebagai ajang melepas lelahmu. Ini bukan sekedar tempat bersandar dari penat pelarian.”
“Aku tau, kamu sendiri kenapa masih sendiri Rizky?”
“Entah kali keberapa kamu lelah, aku selalu menjadi orang yang kamu tuju untuk mencoba menenangkanmu disaat gundah. Kalau aku punya pacar, bisa-bisa pacarku cemburu sama kamu Mel,” Candaku sambil tersenyum.
“Aku sayang kamu, Rizky.”
Ungkapan sayang dari Amel membuatku terbelalak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Matanya terlihat tulus menatapku. Aku tahu ia jujur. Untuk beberapa saat aku hanya terdiam. Tiada balasan kata dariku. Hujan mulai turun dengan derasnya dan hujan itu ibarat ribuan bait puisi cinta yang pernah ada, sedang dan ingin kuucapkan untuknya. Ternyata aku memang bodoh. Aku tidak menyadari kalau Amelia punya rasa terhadapku.
“Saat rasaku tak lagi karuan terhadapnya, Kehadiranmu, kata-katamu, memberiku benih-benih kekuatan. Bukan harapan tapi kekuatan yang tak berkesudahan. Hadirmu seakan memberi jalan untukku membelah lautan. Kamu yang selalu memberiku sayap untuk terbang Rizky.”
Aku sungguh tertegun dengan perkataannya, aku terdiam seribu bahasa. Tak tau harus mengatakan apa. Pikiranku berkecamuk.
Berbicara tentang Amelia, sebenarnya dia adalah satu-satunya sosok wanita yang bisa membuatku tertunduk. Membuat aku harus mengumpulkan keberanian sekuat tenaga untuk memandanginya. Menatapnya, melihat senyumnya, ingin ku teriakkan betapa aku mengaguminya. Betapa aku merindukannya, betapa aku ingin bersamanya dan betapa ku berharap suatu saat dia akan membalas rasaku. Entah kapan dan dimana pertama kali aku jatuh cinta padanya. Sering kali ia jatuh dan aku selalu berusaha membuatnya kembali utuh.
 “Apa hendak ku kata Amelia, sungguh aku gak habis pikir.
“Gak habis pikir kenapa? Katakan saja! meski beberapa hal memang berat untuk dikatakan,” ucap Amel. 
Aku masih terdiam dan menatap jauh ke matanya Amel.     
“Kenapa diam sih? Kamu gak mau jadi pacar aku?,” tanya Amel lagi.
“Ia gak mau, gak mau aku ditembak sama cewek. Jadi mau gak Amel jadi calon ibu dari anak-anak Rizky?”
“Ah...kenapa gak dari dulu-dulu sih nembaknnya?”
“Jadi mau atau egak ni?”       
Amelia hanya mengangguk pertanda ia m
enerima sembari tersenyum dan menggenggam erat tanganku.

You Might Also Like

0 comments

Flickr Images