KAMPUS/SEKOLAH
Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara
Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat,
di tempat.
16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…
a. terpaksa
b. terpuji
c. tercela
d. terbiasa
Ardi berhenti
di soal nomor enam belas itu, salah satu soal ulangan Budi Pekerti semasa dia
kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dengan penuh keyakinan…
kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yang menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dengan penuh keyakinan…
Handphonenya
berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, dan ia menghela nafas
dalam-dalam begitu membaca isinya.
Jadi gimana Di, ikutan pakai ‘itu’ nggak?
Barangkali bukan
kebetulan Ardi menemukan soal-soal ulangan SD-nya saat ia mau mencari buku-buku
lamanya, barangkali bukan kebetulan Ardi membaca soal nomor enam belas dan
jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda setelah ia
mengirim sebaris kalimat yakin…
Nggak, Jo, aku mau jujur aja.
Sebuah balasan
pahit mampir selang beberapa detik setelahnya,
Ah, cemen kamu.
Tapi tidak,
Ardi tak goyah. Ia mengulum senyum dan batinnya berbisik pelan, salah,
Jo.
Jujur itu keren.
UNAS. Sebuah
jadwal tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil
belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. Sebuah penentu kelayakan seorang
siswa untuk lulus dari jenjang pendidikan yang sudah dia jalani atau tidak. UNAS
sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP,
sampai yang terakhir, yakni SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan
kontra, yang mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil 'memaksa'
pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP
dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.
Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tidaknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yang mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yang melempar tanya:
"Bagaimana dengan kecurangan UNAS?"
Ah, ya, UNAS
memang belum pernah lepas dari ketidakjujuran.
Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dengan kecurangan. Sebab jika tidak, pertanyaan itu tidak akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama
UNAS dengan segala problematika dan dilematika yang dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan sayangnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dengan bahagia bahwa 'UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan', dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yang dialami oleh generasi muda Indonesia.
Tetapi
sekarang, sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS... dengan berat hati
saya mengaku bahwa saya tidak bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu.
Sebagai pelajar yang baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak
pertanyaan yang saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yang ingin
saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tidak
perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan
menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda
tanya yang menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi tiga poin
penting...
Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yang tahun ini Alhamdulillah ada dua puluh paket.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yang berbeda, dengan tingkat kesulitan yang sama, untuk satu SKL saja? Pernah tidak terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yang berbeda, dengan taraf kesulitan yang sama, hanya untuk satu indikator 'menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan'?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tidak mau akan ada satu tipe soal yang memuat pertanyaan dengan bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tidak adil untuk siswa yang kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dengan soal susah sedemikian itu. Sebab orang tidak akan pernah peduli apakah soal yang saya terima lebih susah dari si A atau tidak. Manusia itu makhluk yang seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tidak akan pernah bertanya, 'tipe soalmu ada berapa nomor yang susah?' melainkan akan langsung bertanya, 'nilai UNASmu berapa?'.
Bapak Menteri
Pendidikan yang terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika
siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tidak akan bermasalah. Tapi
coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu?
Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, 'kan? Untuk
menetapkan sebuah garis yang akan jadi acuan bersama, 'kan? Sekarang,
bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada
ketidakmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketidakmerataan pendidikan antar
daerah, lho, Pak.
Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yang, menurut saya,
menyimpang dari SKL.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata 'sedikit' ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, 'kan?
Bapak, saya
tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti... apa yang ada di pikiran
Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak
mengatakan di twitter Bapak, 'tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal
yang baru'. Tapi, Pak, sekali ini saja... sekali ini saja saya mohon, Bapak
duduk dengan santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua
ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dengan kepala
dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas
dengan dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas
dengan dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan
kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas
dengan dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak
masih merasa tidak ada yang salah dengan soal-soal itu, saya ceritai sesuatu
deh Pak. Bapak tahu tidak, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat
dua soal Matematika yang tidak saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan
jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke
guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas,
saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya
menggelengkan kepalanya setelah berkutat dengan dua soal itu selama sepuluh
menit. Ya... beliau bilang ada yang salah dengan kedua soal itu. Tetapi yang
ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran...
Bagaimana bisa
Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yang guru saya saja belum tentu bisa
menjawabnya?
Tidak diuji
dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke
siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester
enam?
Lupakah Bapak
bahwa nanti yang akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas
tiga SMA dari seluruh Indonesia?
Haruskah saya
ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah
yang jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dengan
fasilitas pengajaran yang layak saja sudah sujud syukur?
Etiskah
menuntut sebelum memberi?
Etiskah memberi
kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa
seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?
Pada bagian
ini, Bapak mungkin akan teringat dengan berita, 'Pelajar Mengatakan bahwa UNAS
Menyenangkan'. Kemudian Bapak akan merasa tidak percaya dengan semua yang sudah
saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tidak
percaya kenapa ada yang bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan.
Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tidak sedikit
teman-teman saya yang menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis
lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai
mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak 'UNAS menyenangkan' itu? Bagi saya,
hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar,
atau dia menempuh jalan pintas...
Jalan pintas itu adalah hal ketiga yang menganggu pikiran saya selama UNAS
ini. Sebuah bentuk kecurangan yang tidak pernah saya pahami mengapa bisa
terjadi, yaitu joki.
Mengapa saya tidak paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa "Soal UNAS aman! Tidak akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!", tetapi ketika hari H pelaksanaan... voila! Ada saja joki yang jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yang bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yang sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yang saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yang dicuci pakai detergen mahal.
Iya langsung bersih cling begitu, toh?
Nyatanya tidak.
Sekalipun dengan 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yang mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tidak sampai di sana, jawaban yang mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yang saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tidak ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri
Pendidikan yang terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa
membedakan mana jawaban yang mengandalkan dukun dan mana jawaban yang didapat
karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan
kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tidak
akan menetesi lantai rumah jika tidak ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri Pendidikan yang terhormat... tiga hal yang saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.
Pernah
terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yang sedemikian inilah yang memacu
kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tidak... saya beritahu satu hal,
Pak. Ada beberapa teman saya yang tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar
mati-matian, memfokuskan diri pada materi yang diajarkan oleh para guru, dan
berdoa dengan khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yang tidak berperikesiswaan
itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yang belum pernah mereka
lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka
sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha
keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yang disebar
teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tidak lulus. Beberapa lainnya
hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa
di antara airmata mereka... berharap Tuhan membantu.
Saya tidak bisa
sepenuhnya menyalahkan teman-teman yang terpaksa curang setelah mereka belajar
tetapi soal yang keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yang tak
sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua.
Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS,
kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan
lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat
kami menggenggam harapan dan doa, apa yang Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal
yang menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yang benar saja, Pak.
Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yang kami dapat
di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak
bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi
Menteri. Kalau Bapak berdalih 'ah, ini bukan bidang saya', lantas Bapak anggap
kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua
pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa
Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu?
Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak.
Tentu saja
Bapak tidak sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tidak akan
sampai terpikir untuk membuat dua puluh paket soal, padahal lima paket saja
belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak
percaya, Bapak tidak akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase
nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS
itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tidak akan
merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya... mungkin Bapak bahkan
tidak akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.
.........
.........
Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tidak penting, yang penting itu kejujuran.
Tapi tahukah,
bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dengan kata-kata Bapak itu? Bapak
memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan
bobot UNAS (yang hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yang
menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yang
selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir
kami. Bapak secara tidak langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah
kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yang membuat kami, para pelajar, goyah.
Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur?
Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yang berada di
luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yang
di luar kemampuan kami, soal yang luput Bapak sosialisasikan kepada kami
meskipun persiapan UNAS tidak hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya
banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami
mental breakdown yang sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum
memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tidak berperikesiswaan itu dalam UNAS,
yang notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yang sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yang masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tidak tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yang baik, apa yang Bapak lakukan dengan UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yang buruk. Tingkat kesulitan yang belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yang tidak pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yang belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dengan sekolah lain yang kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tidak dipersulit.
Sampai sini,
masih beranikah Bapak katakan bahwa tidak ada yang salah dengan UNAS? Ada yang
salah, Pak. Ada lubang yang menganga sangat besar tidak hanya pada UNAS tetapi
juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yang salah? Barangkali sekolah
yang salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yang tak
benar. Barangkali kami yang salah, karena kami terlalu pengecut untuk
mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yang salah, karena mereka
menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.
Tapi tidak
salah jugakah pemerintah? Tidak salah jugakah tim penyusun UNAS? Tidak salah
jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan.
Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yang berwenang untuk memastikan bahwa
kesempatan untuk berlaku curang itu tidak ada?
Mungkin Bapak
tidak akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, "Kita lihat saja
hasilnya nanti."
Kemudian
sebulan lagi ketika hasil yang keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan
sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yang saya
sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di
atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yang lulus,
kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yang
saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah 'don't judge a book by its
cover', akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan
kemungkinan bahwa yang Bapak lihat itu adalah hasil kerja para 'ghost writer
UNAS'. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari
grafik itu yang mengerjakan dengan jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa
Indonesia sudah siap dengan UNAS berstandard Internasional, padahal
kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yang sudah siap, bukan kami. Mengerikan
bukan, Pak, efek dari tidak terusut tuntasnya joki di negeri ini? Mengerikan
bukan, Pak, ketika kebohongan menjelma menjadi kebenaran semu?
Bapak, tiga
hari ini, kami yang jujur sudah menelan pil pahit. Pil pahit karena ketika kami
berusaha begitu keras, beberapa teman kami dengan nyamannya tertidur pulas
karena sudah mendapat wangsit sebelum ulangan. Pil pahit karena ketika kami
masih harus berjuang menjawab beberapa soal di waktu yang semakin sempit,
beberapa teman kami membuat keributan dengan santai, sedangkan para pengawas
terlalu takut untuk menegur karena sudah ada perjanjian antar sekolah. Pil
pahit, karena kami tidak tahu hasil apa yang akan kami terima nanti, apakah
kami bisa tersenyum, ataukah harus menangis lagi...
Berhentilah
bersembunyi di balik kata-kata, "Saya percaya masih ada yang jujur di
generasi muda kita". Ya ampun Pak, kalau hanya itu saya juga percaya.
Tetapi masalahnya bukan ada atau tidak ada, melainkan berapa, dan banyakan
yang mana? Sebab yang akan Bapak lihat di grafik itu adalah grafik
mayoritas. Bagaimana jika mayoritas justru yang tidak jujur, Pak? Cobalah,
untuk kali ini saja tanyakan ke dalam hati Bapak, berapa persen siswa yang bisa
dijamin jujur dalam UNAS, dibandingkan dengan yang hanya jujur di atas kertas?
(Ngomong-ngomong, Pak, banyak dosa bisa menyebabkan negara celaka. Kalau mau membantu mengurangi dosa masyarakat Indonesia, saya punya satu usul efektif. Hapuskan kolom 'saya mengerjakan ujian dengan jujur' dari lembar jawaban UNAS.)
UNAS bukan hal
remeh, Pak, sama sekali bukan; terutama ketika hasilnya dijadikan parameter
kelulusan siswa, parameter hasil belajar tiga tahun, sekaligus pertimbangan
layak tidaknya kami untuk masuk universitas tujuan kami. Jika derajat UNAS
diletakkan setinggi itu, mestinya kredibilitas UNAS juga dijunjung tinggi pula.
Mestinya tak ada cerita tentang soal bocor, bobot tidak merata, dan tingkat
kesulitan luput disosialisasikan ke siswa.
Kejujuran itu
awalnya sakit, tapi buahnya manis.
Dan saya tahu
itu, Pak.
Tapi bukankah
Pengadilan Negeri tetap ada meski kita semua tahu keadilan pasti akan menang?
Bukankah satuan
kepolisian masih terus merekrut polisi-polisi baru meski kita semua tahu
kebenaran pasti akan menang?
Dan bukankah
itu tugas Bapak dan instansi-instansi pendidikan, untuk menunjukkan pada kami,
para generasi muda, bahwa kejujuran itu layak untuk dicoba dan tidak mustahil
untuk dilakukan?
Kejujuran itu
awalnya sakit, buahnya manis.
Tapi itu bukan
alasan bagi Bapak untuk menutup mata terhadap kecurangan yang terjadi di
wilayah kewenangan Bapak.
Kami yang
berusaha jujur masih belum tahu bagaimana nasib nilai UNAS kami, Pak. Tapi
barangkali hal itu terlalu remeh jika dibandingkan dengan urusan Bapak Menteri
yang bejibun dan jauh lebih berbobot. Maka permintaan saya mewakili teman-teman
pelajar cuma satu; tolong, perbaikilah UNAS, perbaikilah sistem pendidikan di
negeri ini, dan kembalikan sekolah yang kami kenal. Sekolah yang mengajarkan
pada kami bahwa kejujuran itu adalah segalanya. Sekolah yang tidak akan diam
saat melihat kadernya melakukan tindak kecurangan. Kami mulai kehilangan arah,
Pak. Kami mulai tidak tahu kepada siapa lagi kami harus percaya. Kepada siapa
lagi kami harus mencari kejujuran, ketika lembaga yang mengajarkannya justru
diam membisu ketika saat untuk mengamalkannya tiba...
Dari anakmu yang meredam sakit,
Pelajar yang baru saja mengikuti UNAS.
18 April 2014
pukul 9:06 oleh adinda Nurmillaty Abadiah
( https://www.facebook.com/Nurmillaty.A.M?fref=st )
0 comments